Setelah menyampaikan orasi budaya di salah satu perguruan tinggi Yogyakarta (3/9), KH. Mustafa “Gus Mus” Bisri kembali m
Sebagai pengantar dalam acara yang bertajuk “Tafakkur Zaman Akhir” itu,
Gus Mus merefleksikan kondisi bangsa Indonesia akhir-akhir ini yang,
menurutnya, “memprihatinkan”. Sedemikian sehingga, seseorang pernah
mengeluh ke Pengasuh Ponpes Raudhatu Tholibin ini, “Gus, saya ini kalau
lihat TV, kepala saya jadi pening. Saya katakan, itu TV-nya siapa? Itu
TV saya Gus, katanya. Lha, kamu ko’ dibikin ngeluh sama TV sendiri,
kenapa ngga ditendang saja TV-nya…” kata Gus Mus disambut tawa oleh para
hadirin.
Kiai yang juga seniman ini meyampaikan bahwa sebagai
makhluk yang diciptakan sebagai khalifah, wakil Gusti Allah di muka bumi
ini, tidak pantas mengeluh pada setiap masalah yang ada di zamannya.
Gus Mus mengingatkan bagaimana derita yang dialami Kanjeng Nabi Muhammad
saw, teladan umat Islam, yang pernah berjuang sendirian menyampaikan
risalah Islam. Pelajaran keteladanan Kanjeng Nabi seharusnya menjadi
spirit bagi umatnya untuk optimis menghadapi setiap tantangan zaman.
“Tapi sepertinya, kita ko’ ngga ada potongan sebagai khalifah sama sekali…”
Masalah terbesar sebenarnya bukan datang dari luar tapi dari umat Islam
itu sendiri. Jika dikatakan ulama adalah pewaris para nabi, nyatanya
kebanyakan ulama tidak meneladani nabi. Orang-orang yang mengaku pewaris
nabi itu tidak lagi mengamalkan metode dakwah nabi yang mendahulukan
ketauladanan sebelum mengajak orang lain. Bahkan prilakunya berlawanan
dengan apa yang dia sampaikan ke umat.
“Menganjurkan hidup rukun, dia sendiri provokator…”
Dengan nada rendah, ulama 71 tahun ini berkata, “…(Justru) yang
menggunakan metode Rasulullah itu ko’ Pak Harto… ” Gus Mus melanjutkan,
“Pak Harto itu kalau mendidik ia menuntun dirinya sendiri dulu. Ketika
orang Indonesia ‘diajak kaya’, dia memberikan contoh terlebih dahulu…”
katanya yang lagi-lagi disambut tawa.
Alumni Al Azhar Mesir ini
menilai ‘metode dakwah Rasulullah’ yang diterapkan oleh penguasa Orde
Baru itu telah membentuk karakter manusia Indonesia. Jika dahulu Pak
Harto itu cuman satu, sekarang semua orang ingin bahkan telah banyak
yang menjadi ‘Pak Harto’. Akibatnya, menurut Gus Mus, orang yang paling
terhormat di bangsa ini adalah orang yang ‘punya duit’. Karena dengan
duit, orang bisa mengatur pejabat pemerintah, aparat polisi, hakim di
pengadilan dsb.
Sedemikian efektifnya, apa yang diajarkan Pak
Harto selama 32 itu telah menjadi, -meminjam istilah pesantren- ‘ilmu
malakah’. Ilmu yang telah ‘malakah’ berarti telah melekat, mengakar dan
menjadi bagian dari mental seseorang.
“Pemuka agama di desa-desa
itu kalau diundang tahlilan sama ora
ng kaya, tahlilnya sampai seribu
kali. Tapi kalau diundang oleh orang melarat, cukup dengan doa singkat
‘rabbanaa atina fiddunya hasanah ..dst’, ” lanjut Gus Mus menyinggung
fenomena ‘muballigh amplop’ di tengah masyarakat.
Akar dari
problem yang dihadapi bangsa ini adalah gaya hidup berlebihan atau cinta
dunia berlebihan. Orang yang saleh bukan saja diukur oleh ibadah
ritualnya tapi juga sikap hidupnya sesama manusia. Selain mempertanyakan
fenomena ‘balapan’ membangun masjid di mana-mana, pemuka Nahdatul Ulama
ini menyindir pembangunan di sekitar Masjidil Haram, Makkah, yang
semakin tidak mendukung orang untuk beribadah.
“Makkah itu udah
kayak Las Vegas,” sindir Gus Mus sambil menggambarkan fenomena
menjamurnya hotel berbintang, pusat perbelanjaan seperti mall, dan
lain-lain di tanah yang disucikan umat Islam itu.
Gus Mus kembali
mengingatkan kehidupan Rasulullah yang sederhana dengan mengutip hadist
yang melarang mempraktekkan gaya hidup yang berlebihan.
dikutip dari facebook Kongkow Bareng GUS DUR